KULI CINA DI PERKEBUNAN TEMBAKAU SUMATERA TIMUR ABAD 18
Abstract
Ramainya selat Malaka sebagai jalur perhubungan Asia-Eropa pada abad 18, menyebabkan wilayah pesisir Sumatra dan Semenanjung Malaya menjadi incaran pengembangn bisnis masyarakat Eropa untuk membangun industri yang mengusahakan komoditas yang laku di dunia seperti tembakau, karet, tebu dan kopi. Dalam analisis Sartono Kartodirjo dalam buku Sejarah Perkebunan di Indonesia, Kajian Sosial Ekonomi hal 80, dengan pemberlakuan Undang-Undang Agraria Tahun 1870, suatu alat produksi pokok yaitu tanah diliberalisasikan, maka peluang terbuka untuk membuka lahan perkebunan seluas-luasnya akan sangat mungkin dilaksanakan.
Salah satu perusahaan yang berkembang saat itu adalah Deli Maatschappij, perusahaan perkebunan ini membuat terobosan baru dengan menjadikan Sumatra Timur sebagai Sentra industri perkebunan tembakau yang maju. Hal tersebut tentu tidak terlepas dari peran tenaga kerja kuli tembakau Cina yang didatangkan dari Pinang dan Singapura.
Banyaknya pekerja kuli Cina yang didatangkan pada masa itu, yang pada awalnya adalah tenaga kerja kuli yang cukup terampil dan rajin, ternyata lambat laun didatangkan oleh makelar yang tidak mempertimbangkan kualitas. Hal tersebut berimbas pada kerugian yang dialami oleh perusahaan perkebunan. Sehingga dalam perusahaan perkebunan tersebut terjadi banyak penganiayaan dan kekerasan dari para tuan tanah ataupun tandil terhadap para pekerja kuli CIna.
Pada tahun 1915 tatkala Koeli Ordonantie dihapus, Poenali Sanctie tetap dipertahankan karena pemerintah Belanda tetap menganggap bahwa Sumatra adalah ladang devisanya. Banyak dari para pekerja kuli Cina yang seharusnya kembali ke daerah asal ternyata lebih memilih untuk tetap berada di Sumatra Timur sebagai pedagang, petani dan lain-lain.